karya : devita intan sari
kelas : ix a
“Teeettt..” Bel pulang sekolah pun berbunyi kencang. Tak berapa lama, Lusi, sahabat terbaikku sudah menunggu di depan kelas. Ya, Lusi adalah sahabatku sejak kami duduk di bangku SD, sekolah kami sama, rumah kami pun berdekatan. Ke mana-mana kami selalu bersama-sama, pergi sekolah juga bareng. Sebentar lagi ibuku berulang tahun dan Lusi sudah berjanji untuk menemaniku mencari kado ke mall. “Ayo cepat, ran. Kamu lama banget deh.” Kata Lusi memanggilku keras-keras. “Iya iya sebentar, Lus” kataku. Setelah memasukkan buku-buku ke dalam tas, aku pun langsung pergi dengan Lusi ke mall. Kami berjalan muter-muter di sana untuk mencari kado ibuku. “Aduh, ran. Uda berjam-jam kita keliling mall tapi belom dapet juga hadiah untuk mama mu. Kita istirahat dulu yuu. Aku tahu tempat es krim yang enak di sini. Kamu pasti suka deh” Kata Lusi. Ya, bener banget. Aku ini emang suka banget sama yang namanya es krim, makanya aku pun tanpa ragu-ragu langsung mengiyakan ajakan Lusi. Sesampainya di toko es krim itu, Lusi langsung memesankan es krim coklat kesukaanku dan es krim vanilla untuknya sendiri. Sambil menunggu, aku duduk di meja dekat jendela. Tiba-tiba pandanganku jatuh ke seorang laki-laki yang sedang duduk di meja sebelahku. “Silakan, ini pesanannya” kata mbak yang mengantar es krim. “Terima kasih mbak” kata Lusi “Wah kayanya enak banget tuh Lus, ayo cepat dimakan.” “....” tak ada jawabannya dariku. Lusi pun memanggil “Oooi Rani.” Aku pun tersadar “Iya? Kenapa sih Lus? Panggilnya pelan-pelan aja deh,” kataku sewot. “Abis daritadi aku panggil kamu diem aja. Kamu ngeliatin apa sih?” kata Lusi. “Itu tuh Lus, cowo yang duduk di sana, ganteng ya,” jawabku. Laki-laki itu tiba-tiba nengok ke arah kami dan tersenyum. Lalu, Ia berdiri dan berjalan ke arah kami. Ya ampun, jantungku hampir copot rasanya. Jangan-jangan dia sadar daritadi aku menatapnya terus. “Hai Lusi. Apa kabar?” sapa cowok itu. “Hai, dy. Baik kok,” jawab Rani dengan jutek. Aku yang bingung pun menatap mereka berdua. “Emmm. Ini teman kamu, Ran? Cantik deh. Kenalin, aku Randy,” katanya. “Hai, aku Rani,” jawabku. Tapi tiba-tiba saja Lusi sudah menarik tanganku ke luar toko es krim itu. “Kamu apa-apaan sih Lus. Kok tarik-tarik tangan aku gitu,” kataku marah. “Kamu suka kan sama dia? Dia itu playboy tau. Jangan deket-deket sama dia deh,” kata Rani yang juga marah.”Apa sih kamu? Bilang aja kamu jelous sama aku kan? Gara-gara dia bilang aku cantik,” balasku. Kami pun bertengkar hebat hari itu. Besoknya, aku yang masih kesal dengan Lusi pergi ke mall sendirian, di sana aku bertemu lagi dengan Randy. Tapi tiba-tiba muncul kata-kata Lusi tentang Randy kemarin. “Huh. Biar aja deh omongan si Lusi mah,” kataku ga peduli. Akhirnya, aku dan Randy pun jalan berdua di mall hingga sore. Setelah itu, ia mengantarku pulang ke rumah. Ternyata di depan rumahku, sudah ada Lusi menunggu, dari raut wajahnya aku tahu kalau ia terkejut melihatku pulang dengan Randy. Lusi mendatangiku dan berkata, “Kamu tuh, aku kasih tau juga. Jangan dekat-dekat sama Randy. dia tuh bukan cowok baik-baik tau.” Karena kesal mendengar perkataannya itu, aku langsung masuk ke rumah dan menutup pintu di depannya. Beberapa hari telah berlalu, sejak hari itu aku dan Lusi tidak lagi saling berbicara. Tapi aku tak sedikit pun merasa kehilangan karena sekarang ada Randy di sampingku. Ya, sekarang Randy sudah menjadi pacarku. Ke mana-mana kami selalu bersama.Senang sekali rasanya. Tetapi, seperti ada sesuatu yang hilang, entah apa itu. Aku pun tak tahu. Hari ini Randy tidak dapat menjemputku karena sakit. Aku berniat untuk menjenguknya setelah membeli buah tangan terlebih dahulu. Saat di membeli buah, aku melihat Randy sedang bergandengan tangan mesra dengan seorang perempuan di sampingnya. Aku sungguh terkejut, tapi aku pikir tak mungkin Randy mengkhianatiku. Aku tak menghiraukan hal tersebut dan pergi ke rumah Randy. “Ting tong,” Suara bel rumah Randy berbunyi. Tak lama kemudian, seorang anak keluar “Kakak mencari siapa?” “Kakak mencari Randy, apa dia ada?” kataku dengan lembut. “Kak Randy lagi pergi. Kakak pasti pacar barunya Kak Randy ya?” tanyanya lagi. “Iya. Pasti Kak Randy banyak cerita soal kakak ke kamu ya?” jawabku. “Engga kok kak. Cuma klo ada cewe yang datang, pasti itu pacarnya kak Randy,” kata anak tersebut dengan wajah polos. Aku hanya tercengang mendengar perkataan yang keluar dari mulutnya. “Ah dasar anak kecil. Ngomong asal saja,” kataku. Peristiwa itu pun terlupakan dari otakku. Hari ini, sekolahku mengadakan study tour ke Bandung untuk pergi ke beberapa museum. Kemudian, kami diberi waktu untuk berjalan-jalan di Ciwalk. Tiba-tiba saja, aku merasa kesepian karena tidak ada Lusi di sampingku. Padahal biasanya aku selalu jalan-jalan dengan dia. Di hatiku, aku merasa menyesal karena telah bertengkar dengannya, aku pun berniat untuk berbaikan. Tetapi mengingat apa yang dikatakannya tentang Randy, aku mengurungkan niatku itu. Saat berpikir seperti itu, aku melihat Randy bejalan masuk ke dalam Starbuck sambil merangkul seorang perempuan. Namun, perempuan ini berbeda dengan perempuan yang kutemui kemarin. Diam-diam aku membuntuti mereka. Dari sikap mereka berdua, aku tahu bahwa mereka pacaran. Betapa sedihnya hatiku. Aku pun segera menghampiri dan melabrak mereka. “Heh Randy!! Kurang ajar ya kamu! Berani selingkuh di belakang aku,” kataku sambil menahan air mata. Randy melihatku dengan wajah terkejut “Dia siapa sih Ran?” kata perempuan yang bersama Randy. Jawab Randy, “Gatau tuh, say. Aku ga kenal. Yauda yuk, kita pergi aja.” Tanpa menghiraukanku sedikit pun, Randy pergi bersama pacar nya itu. Air mata yang telah kutahan dari tadi pun jatuh. Aku segera berlari ke kamar mandi. Tanpa sengaja, aku menabrak seseorang. Ternyata, yang kutabrak adalah Lusi. Karena malu, aku cepat-cepat masuk ke kamar mandi. “Betapa bodohnya aku. Padahal Lusi sudah mengingatkanku berkali-kali. Tp aku tak peduli, malah aku berpikir negatif tentangnya. Sekarang dia pasti dia sudah tidak mau berteman denganku lagi,” kataku dalam hati. Aku menangis sendirian di dalam WC. Menangisi kebodohanku sendiri. Akan tetapi, tiba-tiba Lusi masuk ke dalam WC dan memelukku. “Kamu kenapa, Ran?” tanyanya dengan lembut. Aku yang terkejut dengan kebaikan hatinya pun menangis semakin kencang “Maafkan aku Lus. Aku udah jahat ke kamu. Bukannya dengar perkataanmu, tapi malah berpikir yang bukan-bukan. Sekarang kamu pasti udah ga mau lagi main dengan orang seperti aku kan.” “Kamu itu ngomong apa sih. Sampai kapan pun, kamu itu tetap sahabat aku. Sudahlah, laki-laki seperti Randy itu ada jutaan. Malah yang lebih bagus juga banyak. Kamu ga usah nangis lagi ya.” Pada saat itu juga, kami berbaikan. Sekarang aku mengerti bahwa sesuatu yang hilang itu adalah sahabat. Pada saat terang, ia ada untuk kita bagi terang itu. Pada saat gelap, ia ada untuk menemaniku. Bahkan pada saat aku melupakannya, ia tetap ada di belakangku, menunggu jika suatu saat aku membutuhkannya . Dia akan selalu memaafkan dan menerimamu apa adanya. Dialah sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar